Selepas jeda pada rayuan hujan senja, aku kembali merasa kehangatan mentari yang terlalu sulit untuk mencairkan kebekuan di dadaku. Ini bukan sepenuhnya tentang aku, hanya ketika suatu hari aku menemui batas sempit yang terhimpit pada rongga-rongga waktu dan memaksa untukku membuat pilihan terbaik dari yang tersulit seperti halnya ku berdiri di ketinggian tebing yang curam tanpa ada batas dengan dalamnya jurang. Satu-satunya cara, aku harus bertahan jika ingin tetap hidup dan tak ada pilihan lain kecuali aku ingin mati. Mendengarkan kata mati membuatku bergidik, tak bisa membayangkan bagaimana sakitnya bagai daging yang dirobek-robek oleh tajamnya taring singa. Apalagi tiada yang menemani di sisi, sama sekali tak ingin menjadi mayat beku dan membiru tanpa ada iringan cinta dari yang mencintaiku dan yang selalu memilih aku.
Telah lama aku tak lagi bergincu dan memudarkan bedak yang seolah tak lagi menjadi istimewa sebagai topeng keceriaan. Bukan melupa aku adalah seorang perempuan yang dilahirkan menjadi tangguh. Hanya saja ada masanya energiku berada pada titik persen terendah. Nyanyian angsa yang tak lagi kusenandungkan kini berganti kicauan burung yang menjadi satu-satunya titik temu antara aku dan waktu ajaib bernama hayalan senja. Aku mengalah pada kejamnya hari dan orang-orang yang memiliki kepala bertegangan tinggi, bukan berarti menyerah. Hanya ingin sejenak meresapi apa yang terlalu banyak kulewatkan, apa yang tak kumengerti dan semakin membingungkan. Ini memang tentang perjalanan, sejauh batas yang kularung, sedalam hatiku melaut. Sudahkah kutemu apa yang kumau? Sudahkah aku menjalani yang aku sukai tanpa paksaan dari segala pihak..?
Luka-luka, debu-debu, sarang laba-laba, dan sangkar emas yang kini berkarat menyesakkan. Satu demi satu menemui wajahku. Fatamorgana yang melindap semu seolah menyilaukan sesaat dengan sejumput harapan dari balik kegelisahan. Dan kutemui diriku dalam fana menjelma kupu-kupu yang tak mampu melihat keindahanku sendiri karena terpaut akan keindahan mulut berbisa orang lain.
Bersyukurku yang paling aku syukuri selama ini hanya karena aku punya TUHAN, segelintir keluarga yang mau menyingkirkan sedikit ego mereka dan merundukkan kepala mereka untuk melihat hatiku dan memahaminya, yang tetap memberiku sedikit ruang untuk bernapas, Dan kau tentu saja, yang senantiasa menjadi tirai penutup bagiku dari tiap kejamnya debu-debu hidup yang menyesakan dada, yang siap sedia menjadi oksigen pelega saat kesesakan menyekik leherku.
Saat angan membawahku seperti ingin kembali ke masa kecil yang cuma tau berlari, bermain, tanpa harus menghadapi kejamnya dunia yang memaksaku harus mandiri dan lebih tangguh dalam beribu luka hanya untuk membuktikan akan harga diriku..
Tapi hati menyadarkanku, bila aku tak mungkin menemuimu bila terus menghindari takdir. Aku bersyukur sampai saat seperti inipun, kau orang yang masih tetap berdiri disampingku.
Tuhan, kumohon hanya padaMu tuk hangatkan dingin hatiku. Mohon redamlah ketakutan dari simtom-simtom yang berdenyut di kepalaku. Kecuplah keningku lembut dengan butir-butir maafMu. Ini perjalanan yang harus tetap kulanjutkan, beri kekuatan tuk wujudkan indah harapan.
Dan biarlah dia yang kau beri untuk menjaga dan menjadi penguat untuk diriku dalam bersama menghadapi kerasnya tiap sayatan kehidupan yang kadang memberi rasa sakit yang teramat getir.
Aku tidak sedang mengeluh, aku hanya sedang bercerita kepada Rinai hujan yang jatuh diringi dalam balutan wangi dari Petrichor, agar tak ada kebenciaan yang tersimpan di hati nantinya, entah tentang kehidupan, atau hal-hal yang memuakan pikiran dan terus menjadi bom waktu dalam ingatan.
Komentar
Posting Komentar